Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Rabu, 16 Februari 2011

Perkembangan Peradaban INDIA

PERKEMBANGAN PERADABAN INDIA
Peradaban Pra-Hindu pertama berkembang di daerah barat laut India. Di sini, di Lembah Indus, sekitar tahun 4000 sebelum Masehi tumbuhlah desa-desa pra-Kebudayaan Harappa yang lebih maju. Karena pusat peradaban ini ada di sepanjang Sungai Indus, beberapa ahli arkeologi menyebutnya peradaban Lembah Indus; yang lainnya menyebutnya Kebudayaan Harappa, sesuai dengan nama salah satu di antara 2 ibukotanya (yang lainnya Mohenjo Daro yang letaknya di Sungai Indus bagian tengah). Apapun namanya, peradaban itu berkembang subur selama 1.000 tahun, yakni dari sekitar tahun 2500 sampai sekitar tahun 1500 sebelum Masehi, dan kemudian secara ajaib hilang.

Peradaban ini memang besar, pertama-tama karena dari segi luasnya wilayah yang dikuasainya - jauh lebih luas daripada wilayah Mesir atau Sumeria. Wilayah Harappa meliputi segi tiga raksasa dengan tiga sisi yang masing-masing 1.600 kilometer panjangnya. Dan dalam daerah yang luas ini para ahli arkeologi telah menemukan lebih dari 50 kelompok masyarakat.

Kebhinekaan masyarakat Harappa mencerminkan kebhinekaan ekonomi Indus. Semua masyarakat pertanian menarik hasil bumi dari desa -gandum, berbagai macam buah dan kapas yang paling awal dibudidayakan di dunia. Bandar-bandarnya diperlengkapi dengan hebat, dimana para pedagang Harappa berjual beli emas dan tembaga, batu pirus dan zamrud, kayu dari lereng Pegunungan Himalaya. Kapal-kapal Harappa berlayar ke hulu Teluk Persia menuju Mesopotamia, dengan membawa gading dan kapas dari India. Dan segala hasil pertanian, perniagaan dan perkapalan menunjang dua ibukotanya, Mohenjo Daro dan Harappa.

Kedua ibukota merupakan karya unggul tata kota, berupa kota benteng. Masing-masing secara pokok terdiri dari bujur sangkar yang garis kelilingnya 4,8 kilometer, dan dikuasai oleh sebuah bangunan batu bata yang berisi sebuah lumbung gandum raksasa, sebuah bangsal pertemuan upacara, dan sebuah pemandian umum - yang barangkali digunakan untuk upacara agama - rupanya adalah pusat pemerintahan dan agama. Pengaturan sanitasi gedung ini - yang paling rumit di dunia pada zaman itu - mencerminkan kepiawaian teknologi Indus. Kamar mandi dan jamban dalam rumah disambungkan oleh jaringan saluran dan luncuran air dengan got yang mengalir di bawah jalan besar. Pada jarak-jarak tertentu terdapat bukaan dalam saluran tersebut untuk memudahkan pekerjaan para pengawas resmi.

Di bidang seni penduduk kota-kota makmur ini memperlihatkan keunggulannya dalam hasil tembikar yang dibuat dengan memutar roda dan dihias dengan cemerlang, serta dalam patung-patung kecil yang dibuat dengan indah. Selain itu terdapat benda-benda terakota dan keramik berglasir yang rupa-rupanya menggambarkan "Dewi Ibu", dewa yang sedang duduk, sapi jantan keramat, dan pohon ara. Di samping itu adapula benda-benda yang tidak termasuk benda keagamaan.

Indus Valley Art

This figure of two oxen pulling a woman in a cart was found at the archaeological site of Mohenjo-Daro in what is now Pakistan. The Indus Valley civilization thrived in the area of Pakistan and western India between about 2500 and 1700 BC. Small ceramic figures depicting aspects of agricultural life were characteristic of Indus Valley art.

Namun, sebagaimana layaknya suatu kebudayaan yang pada umumnya bersifat dagang, khazanah artefak Indus yang paling berlimpah ruah dihimpun oleh golongan pedagang, dan untuk tujuan niaga, terdiri dari materai batu bedak (sejenis stempel) yang biasanya 6,5 cm2 besarnya, dan agaknya dirancang untuk menandai bal-bal kapas atau kantung gandum. Lebih dari 1.000 meterai semacam itu telah ditemukan di Mohenjo Daro saja; yang lain muncul sejauh Teluk Persia dan kota-kota Mesopotamia. Kesemuanya diukir secara elok dengan gambar binatang-binatang penghuni Lembah Indus (sapi jantan, gajah, harimau, dll.) dan memuat prasasti dengan gaya piktografi yang lembut. Sampai saat ini telah dikenali sekitar 250 piktograf yang berlainan satu sama lain, dan jauh bedanya dengan hieroglif Mesir dan tulisan paku Mesopotamia.

Meterai-meterai itu juga merupakan bagian dari teka-teki besar, yakni lenyapnya peradaban Lembah Indus kira-kira sesudah tahun 1500 sebelum Masehi. Menjelang akhir jangka waktu 1.000 tahun peradaban itu, mutu meterai Mohenjo Daro memperlihatkan kemunduran yang ganjil; tidak lagi menggunakan batu sebagai bahannya, melainkan lempung, sedangkan pahatan yang seakan-akan hidup berganti dengan gambaran geometri yang kasar. Yang paling buruk, tata kota yang hebat itu runtuh. Pada akhirnya kota itupun ditinggalkan orang.

Di Harappa lain lagi ceritanya, tapi sama-sama membingungkan. Di sana arkeolog tidak menemukan bukti kemunduran yang lambat: kehidupan kota rupanya berhenti begitu saja, padahal masih dalam masa dewasanya dan pada puncak kemakmuran materialnya.

Pukulan maut terhadap peradaban Indus mendadak datangnya dan hebat. Menurut beberapa sejarawan penyebabnya adalah sejumlah pengelana bersosok tinggi, berkulit putih, dan berasal dari Asia Tengah, yang melanda dataran bagian barat laut India sekitar pertengahan Sasrawarsa ke-2 sebelum Masehi. Dengan mengobrak-abrik negeri itu sepanjang perjalanan mereka, suku pengelana ini mengakhiri suatu kebudayaan yang jauh lebih tinggi tarafnya daripada kebudayaannya sendiri. Namun mereka juga merintis perjalanan seluruh sejarah India yang mendatang.

Sementara itu bila kita melihat pada karya seninya, maka terdapat keragaman dalam bentuk karya-karya seni yang dihasilkan oleh budaya Indus ini, trmasuk perbedaan gaya antara wilayah Mohenjo Daro dan Harappa. Karya seni rupa Mohenjo Daro dengan ciri utamanya adalah penggambaran yang dekoratif. Terdapat dua asumsi mengenai kecenderungan gaya ini, pertama, berkembangnya gaya dekoratif di Mohenjo Daro akibat pengaruh dari karya seni Sumeria di wilayah Mesopotamia. Pendapat yang kedua adalah bahwa gaya ini merupakan gaya seni India asli yang dikembangkan oleh bangsa Dravida sebelum masuknya bangsa Aria. Gaya yang kedua adalah cenderung naturalistik seperti yang terdapat di wilayah Harappa, seperti pada contoh patung torso laki-laki yang terbuat dari perunggu.
Pada perkembangan selanjutnya, kedua gaya ini berpengaruh pada perkembangan seni rupa India masa kemudian, yaitu di masa Buddha di bawah kekuasaan raja Ashoka. Di masa ini kedua jenis gaya ini ditampilkan melalui pilar-pilar yang didirikan di tempat-tempat penting dalam sejarah penyebaran agama Budha oleh Sidharta Gautama. Misalnya gaya dekoratif dipakai pada penggambaran singa yang diletakkan di kapital pilar, sedangkan pada pilar lainnya justru gaya naturalis yang dipakai untuk menggambarkan binatang sapi/lembu yang juga ditempatkan di kapital pilar. Kecenderungan kedua gaya ini oleh para ahli sejarah di luar India berpendapat bahwa kedua gaya ini muncul akibat pengaruh dari budaya luar, seperti Persia dan Yunani, sedangkan para ahli dari India berpendapat bahwa kedua gaya ini merupakan kelanjutan dari kebudayaan Sungai Indus yang memang telah mengenal dan memakai kecenderungan kedua gaya tersebut.

Penetrasi Bangsa Arya

o Berasal dari Asia Tengah, merupakan bangsa Nomaden
o Masuk ke India (Punjab) melalui Sela Khaibar (Kaibar Pass)
o Di daerah Punjab, bangsa Arya berbaur dengan bangsa asli, Dravida.
o Menyebar ke bagian selatan, sehingga terjadi pertempuran dengan penduduk Dravida. Penyerbuan pertama bangsa Arya kalah dan menyusun kekuatan di wilayah Gandhara, kemudian kembali menyerang dan menghancurkan Harappa dan Mohenjo Daro.
o Lambat laun terjadi percampuran budaya bangsa Arya dengan budaya asli, baik secara damai maupun kekerasan.
o Muncul sistem kepercayaan yang merupakan percampuran antara Arya dan Dravida.
o 1000sM, muncul golongan cerdik pandai yang membawa pemikiran-pemikiran baru : Brahmana yang mengajarkan berbagai pengetahuan dan menulis buku-buku kepahlawanan Ramayana, Mahabarata dll, puncaknya menulis kitab Veda.
o Kitab Veda terdiri dari 4 kitab yaitu: Rigveda, Samaveda, Yajurveda dan Atarva Veda.

Jaman Brahmana
Penetrasi bangsa Arya dan berkembangnya ajaran Veda pada akhirnya memunculkan kelas Bramana sebagai kelas tertinggi dan berkuasa, oleh karena itu masa ini dikenal juga dengan masa Brahmana. Bermula karena meningkatnya fungsi Brahmana dan penulisan-penulisan sastra maupun Vedha, akibatnya para Brahmana semakin menguasai tatanan kehidupan masyarakat yang akhirnya menimbulkan sistem kasta, yaitu; Brahmana sebagai kasta teratas dan terhormat, kemudian Ksatria atau para bangsawan, Waisya para pedagang, dan Sudra para petani, buruh, tukang dan masyarakat tingkat bawah. Ada satu tingkatan lagi, tapi dianggap di luar kasta yaitu orang-orang Papa yaitu penderita kusta, gelandangan, orang gila dan narapidana.
Munculnya kasta Brahmana sebagai kasta tertinggi dan berperan penting disebabkan antara lain oleh:
- Penguasaan terhadap kitab Vedha yang memungkinkannya untuk menentukan berbagai upacara yang akan dan harus dilakukan.
- Pemujaan terhadap dewa membutuhkan mediator yang dapat menghubungkan antara manusia dengan alam dewa, dan itu hanya bisa dilakukan oleh golongan Brahmana yang telah menguasai kitab Vedha yang merupakan wahyu dari dewa-dewa.
- Melalui peran Brahmana inilah para dewa dapat memberi jaminan bagi kesejahteraan manusia.
Di masa inilah bangunan-bangunan kuil banyak didirikan oleh para raja sebagai bukti ketundukan terhadap dewa, bukti-bukti fisik dari bangunan yang didirikan di masa ini sangat sedikit dikarenakan material yang dipergunakan didominasi oleh material kayu.

Upanishad
Setelah Rigweda yang muncul dalam Sasrawarsa ke-2 sebelum Masehi selesai disusun, para filsuf India mulai menyusun tafsir madah; langkah ini merupakan kebiasaan yang mereka lanjutkan sampai beratus-ratus tahun lamanya. Bagian terakhir dan paling bermakna dari sastra yang menjadi hasilnya berupa kumpulan renungan filsafat. Bagian yang dimulai sekitar tahun 700 sebelum Masehi dan disebut Upanishad ini mengandung banyak tema yang mengilhami para pemula Jainisme dan Buddhisme, serta memberikan dasar keagamaan untuk Hinduisme. Nama itu berasal dari 2 kata Sansekerta, upa yang berarti "dekat", dan shad, "duduk", sebab Upanishad yang dikembangkan sebelum tulis menulis menjadi lazim di India itu memang diturunkan secara lisan oleh para bijak kepada murid yang duduk di dekat mereka.

Bila dalam zaman Weda keagamaan berkisar pada pemujaan dewa, dan dalam zaman Brahmana keagamaan berpusat pada saji dan upacara saji yang menjadi monopoli kasta Brahmana, maka dalam zaman Upanishad keagamaan dibalikkan dari soal lahir menjadi soal batin.

Meskipun mengakui adanya suatu pengada yang maha mencakup, Upanishad tetap saja memuja dewa-dewa lama yang banyak jumlahnya, dan dalam hal ini orang India tetap politeis. Namun dalah usahanya untuk menemukan keekaan dalam keanekaan, untuk menemukan satu roh serba merasuk, mereka percaya bahwa segala dewa, setiap manusia, semua benda, semata-mata hanya merupakan berbagai perwujudan satu roh yang merasuki alam semesta. Kepercayaan seperti ini disebut monisme, dan bukan monoteisme (konsep yang menyatakan bahwa "Ada 1 Tuhan"). Dalam pandangan ini Upanishad menghubungkan seluruh alam semesta dengan "diri" atau jiwa tiap manusia, yaitu Atman.

Dengan mendasarkan pada Upanishad inilah muncul beberapa tokoh penting yang berupaya mencari pencerahan guna menjawab pertanyaan mengenai cara mencapai bersikap, berfikir dan berperilaku sehingga dapat memperoleh kesempatan untuk melepaskan diri dari lingkaran samsara. Tokohnya antara lain adalah Wardhamana yang kemudian dikenal dengan sebutan Mahavira dengan ajarannya Jainisme, serta Sidharta Gautama dengan ajaran Budhismenya.

Jaman Jaina
Pendiri Jainisme adalah Wardhamana, yang lahir sekitar tahun 540 sM dari kalangan keluarga kaya, bangsawan terpandang. Ayahnya kepala marga Jnatrika yang berkuasa dan tinggal di selatan Nepal. Wardhamana sudah tertarik pada laku tapa sejak masih muda, tetapi panggilan itu ditolaknya dan ia hidup sebagaimana kaum bangsawan sampai usia 30 tahun, ketika orangtuanya meninggal. Ia lalu meninggalkan rumah beserta seluruh harta duniawinya, dan menjadi pengemis. Dari awal ia sudah menjalankan laku tapa keras. Ia berkelana dengan mengenakan sepotong pakaian tipis; setelah 13 bulan pakaian itu dibuangnya, dan sejak itu ia hanya "berselimut langit" - telanjang bulat.

Wardhamana mengabdikan waktu 12 tahun untuk berlaku tapa, berdebat dengan pengembara lain serta merenung, dan akhirnya ia mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh semua pertapa: mencerap makna kehidupan dan kematian. Ia lalu berkelana dan dimanapun ia berada selalu berbagi pencerahan yang telah diperolehnya dengan orang lain. Begitu fasih ia meyakinkan orang sehingga murid-murid pun cepat terhimpun dan menyebutnya Mahawira (Pahlawan Besar) serta Jina (Sang Penakluk). Dari kata terakhir itulah timbul nama kultus Jainisme (Agama Para Penakluk).

Jaman Buddha
Lahirnya agama Buddha tidak dapat dilepaskan dari ajaran Brahmanisme yang dirasa tidak
memberikan kesempatan yang adil bagi tiap manusia untuk mencapai Nirwana. Agama Buddha sendiri lahir di Nepal dan dicetuskan oleh Sidharta Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh para pengikut-pengikutnya. Buddha (Bahasa Sansekerta: Mereka yang Sadar, Yang mencapai pencerahan sejati. dari perkataan Sansekerta: "Budh", untuk mengetahui) merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi (sama seperti konsep dalam agama Hindu dimana semua makhluk hidup mempunyai potensi untuk lahir kembali sebagai jasad yang lain contoh manusia, hewan dan lain-lain sesuai dengan akibat perbuatannya (karma) semasa hidup). Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran dan realitas sebenar-benarnya.

Beberapa segi ajaran Budha memperlihatkan wawasan yang mengagumkan untuk zaman Itu , yaitu :

1. Sang Budha mengajar dalam bahasa daerah dan bukan dalam bahasa Sansekerta yang penuh rahasia, yang digunakan untuk mengabadikan ajaran Upanishad. Dengan demikian ia membukakan ide keagamaan kepada jauh lebih banyak orang daripada sebelumnya.
2. Ia telah membuka jalan menuju penyelamatan tanpa upacara rumit - setiap orang dapat mengikuti jalan itu, asal ia berusaha sendiri.
3. Berbeda dengan para pemimpin agama lain di dunia, ia menolak melakukan renungan metafisika tentang alam semesta. Hasilnya adalah gejala khas agama tanpa Tuhan, tanpa pemujaan.
4. Dalam Upanishad, penyelamatan tidak dapat dicapai oleh kasta-kasta rendah. Berkat Budha penyelamatan itu terbuka bagi semua orang. Dalam hal ini Sang Budha mengabaikan perbedaan kasta tradisional India.


JAMAN HINDU
Hinduisme mulai mekar sebagai agama besar di India antara Abad ke-5 sebelum Masehi dan Abad ke-4 Masehi. Agama ini memiliki dewa-dewi yang berjuta-juta jumlahnya. Tidak ada kerangka ibadat yang tetap: sebagian orang Hindu berdoa, yang lain merenung, yang lain mempersembahkan kurban. Hinduisme berkembang dari pemujaan primitif terhadap kekuatan alam, dan filsafat Weda dari zaman lampau India. Tetapi yang mendasari kumpulan ide dan tokoh-tokoh suci yang digabungkan dan diubah sedikit dari beberapa sumber adalah landasan kokoh iman yang dianut bersama sehingga mempersatukan keanekaragaman India.


Pembabakan Seni Rupa India

1. Pra India
2. Periode Pertama
3. Periode Kedua
4. Periode Ketiga
5. Periode Keempat



1. Periode Pra India

Berlangsung sekitar 2500SM. Seni Mohenjo Daro dan Harappa yang merupakan hasil kebudayaan lembah sungai Indus, suatu bentuk karya seni yang berkaitan dengan kelompok kebudayaan Sumeria dan agama awal di India. Gaya seni Harappa cenderung naturalistis sedangkan seni Mohenjo Daro cenderung dekoratif . Penduduk asli bangsa Dravida, telah berfikiran maju yang dibuktikan dengan penemuan artefak di kawasan Mohenjo Daro Harappa. Kebudayaan ini berakhir seiring penetrasi bangsa Arya ke kawasan sungai Indus. Hasil pencapaian karya seni rupa Sungai Indus dapat dilihat dari artefak yang ditinggalkannya, antara lain:
o Tata Kota
o Segel Indus
o Patung
o Perhiasan dan Mainan
o Gerabah



2. Periode Pertama

" Gaya Sanchi (akhir abad ke-4 s/d abad ke-1 SM)
" Munculnya seni India asli
" Patung-patung naturalistis, ikonografi pertama dari Budha yang bersifat Anikoni.
" Pengaruh akhir dari seni Achemenide (Persia)
" Arsitektur yang mempersatukan motif-motif achemenides pada elemen-elemen artsitektur lokal dari kayu

Di daerah Sanchi dibangun kuil yang berbentuk setengah lingkaran atau yang dikenal dengan sebutan stupa. Stupa sendiri mempunyai beberapa fungsi, antara lain:
4 macam stupa, yaitu:
1. Sebagai tempat menyimpan tulang-belulang dan abu jenazah Sang Budha, dan nantinya para murid dan bhiksu terkemuka; stupa dengan fungsi seperti ini dinamakan juga dhaturgarbha.
2. Sebagai tempat menyimpan benda-benda suci yang berasal dari diri atau milik Sang Budha, muridnya, atau bhiksu terkemuka.
3. Sebagai tanda peringatan di tempat-tempat terjadinya suatu peristiwa penting dalam hidup Sang Budha.
4. Sebagai lambang suci agama Budha pada umumnya.
Lama-kelamaan, stupa itulah yang dipuja, dan sebagai benda pujaan disebut juga caitya.


3. Periode Kedua
3.1 Seni Greco-Budha (Gaya Gandhara)
o Berlangsung sejak pertengahan abad ke-1 SM hingga abad ke-5 M
o Gaya seni Yunani dengan subyek yang merepresentasikan tentang Budha dan sedikit demi sedikit memperlihatkan individualitas
o Bagian kedua dari ikonografi Budha
o Seni Buddha Yunani adalah perpaduan budaya antara budaya Yunani klasik dan agama Buddha.
o Seni Buddha Yunani mempunyai ciri realisme idealistik seni Yunani Helenis dan perwujudan pertama sang Buddha dalam bentuk manusia

3.2 Seni Mathura
o Berlangsung dari abad ke-1 SM s/d abad ke-4 M
o Pararel dengan seni di India bagian Utara (Greco-Budha)
o Ketelitian gaya naturalistis Sanchi
o Awal dari pengaruh Greco-Budha terhadap seni India asli
o Pengaruh seni Kushana
o Evolusi menuju gaya Gupta
o Seni patung Mathura menggunakan banyak unsur-unsur Helenistik, seperti realisme idealistik yang umum, beberapa ciri khas seperti rambut keriting dan lipatan-lipatan khas pakaian. Sedangkan ciri khas Mathura ialah iklim yang lebih panas dan terlihat dari pakaian yang lebih lebar dan secara bertahap lebih menutupi satu bahu daripada kedua bahu. Kemudian raut muka juga terlihat lebih India.


3.3 Gaya Amarawati
o Berlangsung dari abad ke-4 SM s/d sesudah Masehi
o Pararel dengan 3.1 dan 3.2, merupakan Pra Gupta
o Embrio dari penyatuan seni-seni yang sangat berbeda yg kemudian menjadi dasar bagi seni yang selanjutnya
o Gerakan yang intensif: penyatuan dari naturalisme Sanchi dan harmoni Greco-Budha
o Perluasan dan penyempurnaan seni Ajanta
o Pertemuan dua ikonografi (asli dan asing)


4. Periode Ketiga
" Zaman yang sering dikatakan masa klasik (abad ke 5 s/d ke 9 M)
" Mengekspresikan perkembangan arsitektur gua (candi korokan), patung, seni lukis, dan seni hias (Ajanta, Ellora dll)
" Pembentukan arsitektur di ruang terbuka dengan bahan-bahan keras
" Gaya Gupta ( 5 s/d 6 M), pengolahan pengaruh Greco-Budha yang berasimilasi dengan Mathura dan Amarawati
" Harmoni dan keseimbangan, kehalusan serta kontur yang hidup

Seni Gupta
Unsur-unsur Helenistik masih bisa dilihat secara jelas dalam kemurnian patung-patung dan lipatan-lipatan pakaian, tetapi diperbaiki dengan sebuah penggambaran pakaian dengan seni pahat yang sangat halus dan semacam sinar yang diperkuat dengan penggunaan batu granit warna merah muda.

Gaya Post Gupta
o Keseimbangan dan harmoni, tidak lagi berupa perluasan melainkan keagungan
o Kekuatan-kekuatan baru (Elephanta dan Ellora)
o Dinamisme semakin terlihat (Ellora)
o Di daerah selatan ada juga tendensi yang lebih dingin (Mavalipuram)
Kontribusi Yunani terhadap seni rupa Buddha
Di luar unsur-unsur gaya yang terbesar di seluruh Asia selama hampir seribu tahun, kontribusi utama seni Buddha-Yunani kepada agama Buddha adalah realisme idealistik yang diilhami seni Yunani dan membantu menggambar secara langsung dan visual, keadaan berkah pribadi dan pencerahan yang disiarkan oleh agama Buddha. Sosialisasi daripada pendekatan manusiawi agama Buddha dan keterbukaannya terhadap semua orang, kemungkinan besar terjadi berkat perpaduan seni Yunani dan seni Buddha.


5. Periode Keempat

Sejak abad ke-9 dan 10 M, seni India terbagi atas dua kelompok besar, yaitu :
Seni India Selatan atau lebih tepat dikatakan Seni Tenggara (Gaya Dravida) dan
Seni India Utara

Seni Tenggara (Gaya Dravida)
o Seni yang merupakan embrio gaya Post Gupta di Tenggara (Mavalipuram, Trichinopoly, Kantechipuram dsb)
o Sedikit demi sedikit mempunyai karakteristik yang tersendiri dan memisahkan diri (abad ke-9 dan ke-10)
o Arsitektur Vimana atau Gapura
o Monumental, tenangm arsitektur yang kompleks dengan hubungan dari ruangan dengan tiang-tiang yang dihiasi bentuk-bentuk binatang yang berdiri pada kaki belakang, lorong-lorong yang banyak.

Seni India Utara
o Bentuk-bentuk bulatan dikombinasikan pada badan/berbagai ukuran
o Patung-patung Brahmana, keindahan yang diwujudkan seringkali lebih erotis (seni Orissa, Buvanecvar, Kharujaho)
o Patung-patung yang langsing dan indah, pada umumnya bersifat Budha yang mempengaruhi Tibet
o Gaya Djaina, terikat pada seni Utara bahkan bentuk arsitekturnya, tetapi di bagian dalam berkembang bentuk kubah di atas tiang; dekorasinya khas (Mont Abu)
o Gaya Mysore: denah bentuk bintang, bagian dasar penuh dengan hiasan; bagian badan sangat khas. Gaya ini mempunyai persamaan dengan gaya Utara, tetapi menggunakan dekorasi (mural) gaya Dravida
o Perkembangan gaya Utara terhenti setelah kedatangan Islam, walaupun seni Indo Persia lebih dekat dengan seni India daripada seni Islam
o Pada seni di kedua daerah dekat dengan India (Srilangka dan Nepal, seni pararel dengan seni India, tetapi dengan jatidiri masing-masing)
Pada perkembangan selanjutnya arsitektur India memberi banyak pengaruh pada kawasan Asia Timur dalam kaitannya dengan penyebaran agama Budha. Sejumlah arsitektur India seperti stupa, sikhara (puncak kuil), pagoda (menara kuil), torana (gerbang kuil), digunakan secara ekstensif di Asia Timur dan Asia Tenggara. Variasi gopuram (gerbang kuil selatan) dikenal karna seluk beluk dan keagungannya. Lengkungan, batu penjuru dari arsitektur dunia, pertama kali dikembangkan di Peradaban Lembah Indus, dan kemudian menjadi bahan pokok arsitektur India. Gaya India pada kuil-kuil Hindu dan Budha dibangun di luar negeri semenjak masa lalu, khususnya gaya India pada Angkor Wat Kamboja dan Prambanan Jawa.


Kebangkitan Hinduisme

Hinduisme mulai mekar sebagai agama besar di India antara Abad ke-5 sebelum Masehi dan Abad ke-4 Masehi. Agama ini memiliki dewa-dewi yang berjuta-juta jumlahnya. Tidak ada kerangka ibadat yang tetap: sebagian orang Hindu berdoa, yang lain merenung, yang lain mempersembahkan kurban. Hinduisme berkembang dari pemujaan primitif terhadap kekuatan alam, dan filsafat Weda dari zaman lampau India. Tetapi yang mendasari umpulan ide dan tokoh-tokoh suci yang digabungkan dan diubah sedikit dari beberapa sumber adalah landasan kokoh iman yang dianut bersama sehingga mempersatukan keanekaragaman India.

Justru dalam keanekaan itulah terletak kekuatan Hinduisme. Dengan menampung semua golongan, sekalian cerdik-pandai, setiap perwatakan, Hinduisme bahkan menjadi lebih dari sekedar agama; Hinduisme memantapkan kerangka bagi masyarakat yang khas India, di sini orang yang amat berbeda latar belakang, kepercayaan, status sosial dan pendidikannya mengikuti jalannya masing-masing yang berbeda satu sama lain secara beriringan.

Kemampuan besar untuk menampung berbagai kecenderungan menyebabkan agama Hindu pada akhirnya menang atas Budhisme di India. Pada awal kurun Masehi Budhisme mencapai puncaknya; kemudian agama tersebut layu di tanah kelahirannya, dan malahan lalu berakar di luar negeri. Salah satu penyebabnya ialah bahwa golongan Brahman senantiasa memimpin organisasi kemasyarakatan dan kehidupan intelektual India, bahkan sewaktu menanjaknya Budhisme; setelah memperoleh kesempatan, para Brahman memantapkan kedudukannya kembali dalam bidang agama. Pada akhirnya kaum Brahman menemukan jalan guna menyesuaikan dewa-dewi rakyat dengan kitab suci Brahman, Weda, juga dengan tafsirnya, Upanishad, maupun dengan Budhisme. Berkat disesuaikannya ibadat, filsafat, dan perilaku susila lahirlah Hinduisme.

Hinduisme ketika itu, seperti juga kini, merupakan jalinan yang amat beragam dan sulit dimengerti. Secara keseluruhan orang Hindu hanya memiliki 1 pasal iman saja: bahwa manusia akan berusaha mencapai tujuannya melalui pengaruh timbal balik di antara karma (hukum sebab akibat yang menentukan kedudukannya dalam hidup), dharma (tugas-tugas yang menjadi kewajibannya dalam kedudukan tersebut), serta reinkarnasi atau penjelmaan kembali (kelahiran kembali dalam kehidupan lain). Tema ini merupakan dasar untuk memberikan segala tafsiran mengenai watak, tindakan, dan makna dewa-dewi Hindu.



The Hindu Temple
The temple of Devi Jogadanta in Khajur?ho, India, exemplifies the symbolic character of Hindu temple architecture. The symmetrical layout of the structure is a microcosm of the universe, with its four quarters and celestial roof. Similarly, the towering spire resembles a mountain and recalls the axis mundi, or cosmic pillar, which in archaic religious thought represents the center of the universe. The passage of the worshiper toward the image of the deity at the heart of the building symbolizes a spiritual journey toward moksha, or release from the cycle of death and rebirth.


a. Dewa-Dewi Hindu

Dewa-dewi Hindu digambarkan memiliki sifat-sifat dan perilaku seperti manusia. Namun hal ini dirasa belum cukup kongkrit, belum cukup memberi pegangan untuk mengabdi dan berbakti. Maka dewa-dewi Hindu diwujudkan dalam bentuk yang dapat diraba, dipatungkan. Pemujaan patung-patung dewa inilah yang menjadi corak khusus dari agama Hindu.

Di antara berjuta-juta dewa-dewi dalam khazanah dewata itu, ada 5 yang menonjol dan kebanyakan orang Hindu memuja salah satu saja; pada umumnya mereka beranggapan bahwa jutaan dewa-dewi itu hanyalah sekedar aneka pemunculan satu-satunya dewa yang mereka puja. Dalam hal ini dewa yang banyak tersebut merupakan jabaran Brahma, pengada tertinggi dalam kitab-kitab Upanishad. Bagi orang Hindu, pemunculan yang maha kuasa dan terdapat di mana-mana ini merupakan sumber Batara Brahma, yang secara teori menduduki tempat pertama di kalangan dewa-dewi. Haknya atas tempat pertama tersebut berdasarkan peranannya sebagai pencipta alam semesta.

Brahma mengadakan karya penciptaan yang dapat dibandingkan dengan pembaharuan bumi yang terjadi berulang-ulang, seperti musim semi. 2 Batara lainnya mengatur proses pembaharuan alam semesta ini: Siwa, yang menghancurkan ciptaan, sebagaimana usia lanjut menghancurkan masa muda serta musim gugur menghancurkan ciptaan musim semi; dan Wisnu, yang memelihara alam semesta ciptaan Brahma, sebagaimana kehidupan dipertahankan dalam tanah gersang atau benih kering. Dalam peranannya menurut gambaran manusia, keduanya menjadi dewa-dewa Hindu yang paling tenar sehingga timbullah mazhab-mazhab yang pemeluknya menyembah dewa khasnya sebagai Tuhan dalam paham monotheis, yang menganugerahkan atau menolak keselamatan.

Yang berada di belakang Wisnu dan Siwa dalam urutan ketenaran, terkadang tampil dalam peranan istri Siwa, terkadang pula tampil sebagai sasaran penyembahan tersendiri, adalah "dewi ibu" yang disebut dengan berbagai nama - Kali, Durga, Parwati, dan Uma misalnya. Ia adalah versi baru dari dewi ibu yang lazim ada dalam masyarakat purba; dewi seperti itu telah dipuja di Lembah Indus sebelum kedatangan kaum Arya. Akhirnya, terdapat dewa kelima di antara dewa-dewi Hindu yang penting, yakni Krishna, salah satu di antara berbagai penjelmaan Wisnu.

Wisnu
Konsep yang dibawakan oleh para dewa dan pengiringnya yang lebih rendah seluruhnya dapat ditelusuri kembali sampai Abad Weda, bahkan sebelumnya. Weda menceritakan bahwa Wisnu mengambil 3 langkah raksasa untuk mengukur alam semesta, kemudian menggerakkannya dan mempertahankannya agar tetap bergerak - fungsi yang masih dijalankannya sebagai Dewa Pemelihara. Namun, kini ia semakin penting dengan surutnya Indra, dewa perang serta pelindung orang Arya. Ia mengambilalih aneka macam sifat Indra yang tengah menghilang -teristimewa naluri berperang dan kesukaannya akan kenikmatan duniawi. Namun keganasan Batara Wisnu diimbangi oleh tabiatnya yang pertama-tama berkehendak baik; pada hakekatnya ia adalah dewa belas kasihan dan penyayang.

Manakala umat manusia membutuhkan pertolongan, Batara Wisnu tampil di bumi sebagai avatar atau jelmaannya. Pada umumnya orang Hindu percaya bahwa 9 avatar sudah muncul; avatar ke-10 masih akan datang. Beberapa orang Hindu menganggap Budha sebagai avatar Wisnu, dan semua pencinta sastra epik besar India memandang pahlawannya sebagai Batara Wisnu dalam wujud manusia, contohnya sosok Rama, pahlawan dalam "Ramayana". Konon, Wisnu menjelma sebagai Budha untuk menyiarkan agama palsu guna menyesatkan dan melemahkan mereka yang memusuhi para dewa (sudah kita ketahui bahwa dalam agama Budha dewa itu bukanlah yang tertinggi dan hanyalah suatu bentuk penjelmaan saja). Avatar ke-10, yang masih akan datang, adalah Kalki. Kalki akan muncul pada saat dunia semakin buruk, kejahatan sudah semakin memuncak, sehingga dunia terancam musnah. Ia akan muncul dengan menunggang kuda putih dan membawa pedang terhunus untuk menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan di atas dunia ini.
The Ten Incarnations of Vishnu
The Hindu god Vishnu appears on Earth in ten incarnations, called avatars, to destroy injustice and save humankind. Sacred Hindu writings called the Puranas describe these incarnations. Vishnu is always depicted in dark blue or black and usually with four arms, though his avatars may take other forms, such as the golden fish (top left panel) and the man lion (panel below the fish). In his tenth avatar, still to come, Vishnu will appear with a white horse (bottom right panel) to destroy the universe. This painting was created about 1890 in Jaipur in northern India and is now in the Victoria and Albert Museum in London, England.

Wisnu beristrikan Lakshmi - Dewi Keberuntungan - atau Sri -Dewi Kebahagiaan - yang muncul dari laut dalam keadaan dewasa penuh, seperti halnya Aphrodite dari yunani. Bersama suaminya ia telah sering mengadakan penjelmaan. Ia adalah Radha, gadis petani kesayangan Krishna semasa mudanya; ia adalah Rukmini, permaisuri utama di antara ke-16.000 istri Krishna; ia adalah Sita, istri setia Rama.
Para pemuja Wisnu dalam agama Hindu disebut golongan Waisnawa. Bagi golongan Waisnawa ini, Siwa adalah Wisnu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa.


Krishna

Bridgeman Art Library, London/New York

Indian Miniature Painting
Radha and Krishna in a Pavillion (1760?) is an example of the style of Indian miniature painting that was popular from the 16th to the 19th century. This piece, from India's Punjab Hills, is an illustration of a traditional story of Krishna, a Hindu god, and his lover, Radha. Krishna, left, the eighth incarnation of the supreme Hindu god Vishnu, serves as one of the central deities in Hinduism.

Penampakan Wisnu yang paling dikenal, paling disukai dan paling ruwet ialah Krishna, yang muncul di dalam sejumlah besar legenda. Tidak ada dewa yang memiliki daya tarik lebih besar daripada Krishna, batara yang masyhur karena cintanya pada kemanusiaan. Yang menjadikannya tenar, bagaimanapun juga, bukanlah silsilah ilahinya melainkan kenyataan bahwa legenda melukiskannya dengan cara sangat manusiawi. Sebagai anak, nakalnya sama dengan setiap anak biasa, dan Krishna sebagai anaklah yang disembah oleh para ibu di India. Para pemuda mengagumi Krishna sewaktu remaja, yang bekerja sebagai gembala sapi dan mendapatkan kemuliaan dalam pertempuran; para gadis, pada gilirannya, memuja dan menyanjungnya sebagai kekasih yang hangat. Berabad-abad lamanya pemujaan terhadap Krishna sedemikian luas sehingga para seniman paling unggul di India berusaha untuk memperjelas riwayat batara rupawan yang mempesona itu.

Mitos menceritakan bahwa Krishna lahir di penjara istana, tempat ibunya disekap karena para akhli nujum raja meramalkan bahwa seorang anak pada marganya akan membunuh raja. Ibu dan anak berhasil lolos, dan raja -menggemakan tindakan Herodes dalam Alkitab- memerintahkan pembantaian setiap anak laki-laki di kerajaannya. Sekali lagi dewa bayi itu memudarkan alur cerita; ia menemukan pengungsian di desa. Seperti Oedipus (Oedipus Rex karya sastrawan Yunani Sophocles) ia dibesarkan oleh seorang gembala dan istrinya. Sebagai anak, nakalnya luar biasa, tetapi ia menebus kenakalannya dengan membunuh setan dan menyelamatkan kawanan sapi dari bencana. Sebagai pemuda, ia memikat dan memacari gadis petani yang tak terbilang jumlahnya. Kelak ia bersungguh-sungguh dan pergi berperang, dan ia menepati ramalan ahli nujum dengan membunuh raja tadi. Ia mendirikan kerajaannya sendiri, dan kerajaan itu - seperti Atlantis-nya orang Yunani - akhirnya ditelan laut. Menurut salah satu legenda, yang mengingatkan orang akan mitos Yunani tentang Achilles, Krishna mati ketika sepucuk anak panah mengenai satu-satunya tempat rawan, yakni otot tumitnya.

Siwa
Di antara sekalian dewa-dewi di India, Siwa termasuk yang paling tua asal-usulnya, sebab sifat-sifatnya merupakan gabungan antara sekurang-kurangnya 3 dewa purba - Dewa Kesuburan Harappa (yang telah diremehkan orang Arya), Varuna yang baik kesusilaannya (dewa dalam Kitab Weda menjaga hukum alam), dan akhirnya Rudra (raksasa beringas yang dalam Kitab Weda menghukum dan menghancurkan penjahat dan siapa pun yang membangkitkan kejengkelannya). Sebagai Siwa ia sekaligus menjadi dewa keheningan dan dewa tari-tarian; dewa kemakmuran dan dewa amarah; dewa kebinasaan dan dewa kesuburan - suatu pengakuan mistis atas fakta bahwa segala sesuatu yang lahir akhirnya menuju kematian, dan dari kematian timbullah kehidupan baru. Ia kejam dan lembut, pemarah sekaligus pengampun, tak dapat diramalkan dan selalu tetap saja. Apa pun seginya, ia tampil sebagai pertapa tegar di Gunung Kailasa di Himalaya, pembunuh setan yang terlilit ular dan mengenakan tudung tengkorak; penguasa semesta alam yang menari dalam lingkaran api; lambing pria untuk kesuburan. Lebih sering ia menampakkan diri bukan sebagai pribadi melainkan sebagai alam yang mendatangkan huru-hara dan bencana tanpa alasan yang jelas.

Para pemuja Siwa disebut golongan Saiwa. Sebagian golongan Saiwa percaya bahwa dorongan atau kekuatan Siwa tidak berasal dari dirinya sendiri melainkan dari roh wanita yang disebut shakti-nya - yaitu istrinya. Penyembah seperti itu termasuk yang disebut mazhab shakta, yaitu pemuja istri Siwa dalam berbagai penampakannya.

Parwati/Uma/Kali/Durga
Istri Siwa sebagaimana Siwa sendiri, merupakan gabungan dewi-dewi purba yang berlawanan sifat dan peranannya. Dewi ini ramah dan kejam, menakutkan dan cantik molek; sebagai dewi ibu ia ikut dalam penciptaan, tetapi minumannya darah. Menurut sifat ramahnya ia dikenal sebagai Parwati (berarti "Putri Gunung"), atau Uma ("Cahaya"); menurut sifat kejamnya ia adalah Kali ("Yang Hitam") atau Durga ("Yang Tak Dapat Didekati"). Parwati muncul sebagai istri Siwa sekitar Abad ke-4 Masehi.

Parwati atau Mahadewi adalah putri pegunungan Himalaya dan saudari Sungai Gangga. Dengan cinta ia membujuk Siwa agar menghentikan tapanya. Ia merupakan wujud kesatuan dewa dan dewi, pria dan wanita. Uma adalah dewi emas, makhluk cahaya dan kecantikan. Kadangkala ia menengahi sengketa antara Brahma dan dewa-dewi lainnya. Kali adalah Parwati yang berubah menjadi dewi paling mengerikan dalam Hinduisme karena selalu haus akan korban darah. Biasanya ia berlumuran darah, diliputi ular, dan berkalung tengkorak putra-putrinya. Durga adalah Parwati dalam bentuk dewi bengis berlengan 10, muncul sebagai tokoh dewasa dari mulut berapi Brahma, Siwa dan Wisnu. Durga naik harimau dan memerangi setan dengan senjata para dewa.




b. Kitab Suci
Purana adalah kitab-kitab suci, yang terutama bagi golongan Waisnawa dan Saiwa menjadi pegangan langsung. Isinya berbagai cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup di kalangan rakyat mengenai kehidupan para dewa, tentang penciptaan dunia, dsb.

Purana ada 18 buah, dan masing-masing isinya berbeda. Namun dapat dikatakan bahwa Purana itu pada umumnya memuat 5 hal (pancalaksana) yang menjadi corak khususnya , yaitu:
1) Sarga, yaitu penciptaan alam semesta.
2) Pratisarga, yaitu penciptaan kembali dunia, setiap kali dunia yang ada lenyap.
3) Wamca, yaitu asal-usul para dewa dan resi (pendeta tertinggi)
4) Manwantarani, yaitu pembagian waktu 1 hari Brahma (12 ribu tahun dewa atau 4,32 juta tahun manusia) dalam 14 masa. Dalam tiap masa manusia diciptakan kembali sebagai turunan dari manusia pertama, Manu.
5) Wamcanucarita, yaitu sejarah raja-raja yang memerintah di atas dunia.
Golongan Shakta yang memuja istri (shakti) Siwa dalam segala penampakannya memiliki kitab suci khusus dinamakan Tantra. Di sini terutama sekali diuraikan berbagai hal keagamaan dan cara-cara pemujaan yang lebih-lebih bersifat sihir dan gaib. Seringkali bahkan dilakukan berbagai tindakan yang untuk orang biasa sangat terlarang, namun justru merupakan upacara-upacara tersuci golongan Shakta. Karena kitab suci khusus golongan Shakta dinamakan Tantra, maka aliran ini dinamakan juga Tantrayana.


DAFTAR PUSTAKA

http://file.upi.edu

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Sumber atau refrensinya dari buku apa saja?

GHE??!!!! mengatakan...

DAFTAR PUSTAKA

http://wapedia.mobi/ms/Seni_bina_Hoysala
http://file.upi.edu/Direktori/E%20%20FPTK/JUR.%20PEND.%20TEKNIK%20ARSITEKTUR/
197709192008012%20%20DIAH%20CAHYANI%20PERMANA%20SARI/sejarah%20
d3.pdf