Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Agustus 2010

Kain Songket

II. 1 Pengenalan seni kain di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia dengan lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil yang tersebar sepanjang 4.800 km antara benua Asia dan benua Australia. Karena itu Indonesia memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang terbesar dibandingkan dengan bagian manapun juga didunia ini. Karena letak geografis ini jugalah maka Indonesia mempunyai lebih dari 300 suku dan sekitar 365 bahasa.

Dalam perjalanan jaman, setiap suku di Indonesia mempunyai ciri khas dalam busana daerah mereka yang tentunya dilengkapi dengan kain-kain yang khas dan menjadi warisan budaya yang sangat memukau.

Kain Tenun yang dibuat dengan teknik ikat lungsi berkembang dan menjadi ciri khas penduduk di daerah Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan juga di beberapa daerah di Sumatera; Kain Songket dan Ulos berkembang di sebagian besar wilayah Sumatera; Kain Batik yang tidak hanya dihasilkan di pulau Jawa, telah melekat menjadi jati diri orang Jawa; seni teknik Sulam dan Bordir yang banyak dipakai di Sumatera Barat akhirnya meluas hingga ke berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam banyak catatan lama tertulis bahwa kain tradisional Indonesia mempunyai nilai budaya tinggi, terutama dari sudut estetis, bermakna simbolis dan memiliki falsafah yang mendasari pembuatannya. Jika kita menelaah sejarah kain tenun Indonesia, terutama teknik tenun ikat Iungsi maka kita bisa melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia termasuk menarik karena ternyata teknik ini telah dikenal disini sejak jaman Prasejarah. Di daerah pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Nusa Tenggara Timur, sejak lama penduduk mengenal corak tenun ikat yang rumit, semua itu dihasilkan dengan membuat alat tenun sendiri, mencari pohon untuk diambil serat nya dan mencelup dengan bahan pewarna alam yang diambil dari hutan disekitar mereka bermukim. Diperkirakan keakhlian ini telah dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada masa perundagian atau perunggu mulai abad ke-8 sampai abad ke-2 SM.

Keragaman dan keunikan ragam hias kain tenun tercermin dengan jelas pada unsur yang terkait dengan pemujaan pada leluhur dan kebesaran alam. Setiap daerah memiliki ciri khas pada ragam hiasnya yang terkait dengan fungsi sosial budaya daerah tersebut. Dalam setiap kegiatan ritual keluarga atau agama, sepotong kain tenun hampir selalu menjadi bagian yang amat penting.

Cikal bakal kehadiran kain songket di negeri ini sebenarnya tidaklah kalah menarik. Para ahli sejarah menyatakan bahwa seni kerajinan tenun songket (gabungan antara seni tenun berbahan sutera atau benang kapas dan penambahan ragam hias dengan teknik cucuk yang mempergunakan benang emas atau perak) berkembang bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya mulai sekitar abad ke-ll. Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang dikenal makmur sekali karena memiliki kekayaan logam mulia seperti emas dan perak, juga merupakan pusat rempah-rempah seperti lada dan pala. Selama waktu cukup lama kerajaan yang sangat strategis secara geografis ini menjadi lokasi persinggahan para pedagang dari Tiongkok, India dan Arab dan ini jelas sangat menguntungkan karena terjadi pertukaran barang dagangan seperti rempah¬rempah dan emas untuk mendapatkan apa yang tidak mereka hasilkan antara lain benang sutera.

Berdasarkan warna dan ragam hiasnya, dahulu kita bisa membedakan status sosial si pemakai. Kain songket dengan warna hijau tua , merah tua dan kuning tua biasanya dipakai seseorang janda dan bila sudah slap untuk menikah kembali maka si janda akan memakai warna yang lebih cerah. Pada ujung songket yang disebut “Jando Berias” dan songket “Jando Pengantin” ditenun ragam hias bunga-bunga kecil yang kerap dipanggil bunga betabur, sedangkan ditengahnya berwarna hijau atau ungu polos. Karena Palembang seperti yang diceritakan diatas banyak didatangi saudagar-saudagar bangsa asing maka dengan sendirinya banyak menyerap ragam hias dari wastra yang dibawa oleh mereka. Karena itu didalam songket Palembang banyak ditenun ragam hias dengan nama yang menunjukkan asal nya seperti “Bungo Cino” dan “Bungo Pacik“.

Sejarah kain batik di Indonesia berbeda kisahnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa teknik batik itu memang universal, bahkan sudah dipakai sebagai media hias pada seni kerajinan tembikar pada masyarakat Peru Kuno di Amerika Selatan. Namun dipulau Jawalah teknik ini mencapai puncak keindahan pada permulaan abad ke-19 dengan mulai didapatkan bahan tenun kapas halus yang diimport dari Inggris dan Negeri Belanda. Bagi masyarakat Jawa, sepotong batik tidak hanya selembar kain untuk busana tetapi dipakai dalam beberapa tingkat kehidupan mulai seorang bayi lahir sampai saat dia meninggalkan dunia ini, juga dalam seni tari, seni drama dan busana untuk anggota keluarga raja.

Kita tidak tahu sejak kapan tradisi membatik itu masuk ke pulau Jawa, bahkan kata batik tidak diketemukan dalam bahasa Jawa Kuno. Namun sejumlah pakar berpendapat bahwa kata batik berasal dari bahasa Melayu Kuno yakni dari kata “tik” yang berarti tetes atau menetes.

Dibanding dengan jenis kain tradisional lain, batik yang paling banyak mendapat pengaruh budaya dari Tiongkok terutama pada pola ragam hiasnya. Corak ragam hias gaya Cina seperti naga, burung hong, kepeng emas, kupu-kupu, kelelawar, bunga peoni atau rumpun bambu banyak digemari. Kebanyakan ini dipakai pada batik pesisiran yaitu batik yang dibuat didaerah sepanjang pantai utara pulau Jawa. Banyak sekali keturunan Cina yang terlibat dalam industri ini dan menjadi pengusaha Batik yang terkenal.

Dari berbagai kain Nusantara tidak bisa dipungkiri bahwa batik sebagai teknik untuk membuat ragam hias yang paling banyak memberi keleluasaan dan kecepatan dalam berproduksi dibandingkan dengan teknik ikat umpamanya. Karena itu sampai sekarang batik terus mengalami penambahan dan pengembangan ragam hias yang disesuaikan dengan selera masa kini.

Pada akhirnya kita haruslah mensyukuri bahwa sampai sekarang segala jenis kain yang dibuat dengan bermacam-macam teknik relative masih banyak dipakai oleh segala lapisan masyarakat, sebagai contoh; dalam upacara ritual pernikahan, pada acara menghadiri upacara Wisuda, kemeja resmi untuk pria, busana nasional bagi wanita dan juga sarung yang dipakai kemesjid dan tren terakhir adalah memakai bawahan atau atasan terbuat dari bahan tradisional serta keharusan memakai seragam resmi di beberapa institusi.

II. 2 Seni kain Songket

Seni kain dari Sumatera adalah Songket. Kerajinan tenun songket adalah gabungan antara seni tenun berbahan sutera atau benang kapas dan penambahan ragam hias dengan teknik cucuk yang mempergunakan benang emas atau perak. Asal mula ditemukannya songket bermula karena berkembang bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya mulai sekitar abad ke-ll. Karena letak kerajaan yang sangat strategis secara geografis, maka Sriwijaya menjadi lokasi persinggahan para pedagang dari Tiongkok, India dan Arab sehingga terjadi pertukaran barang dagangan seperti rempah¬rempah dan emas untuk mendapatkan apa yang tidak mereka hasilkan antara lain benang sutera.

Berdasarkan warna dan ragam hiasnya, dahulu kita bisa membedakan status sosial si pemakai. Kain songket dengan warna hijau tua , merah tua, dan kuning tua biasanya dipakai seseorang janda dan bila sudah siap untuk menikah kembali maka si janda akan memakai warna yang lebih cerah. Pada ujung songket yang disebut “Jando Berias” dan songket “Jando Pengantin” ditenun ragam hias bunga-bunga kecil yang kerap dipanggil bunga betabur, sedangkan ditengahnya berwarna hijau atau ungu polos. Karena Palembang seperti yang diceritakan diatas banyak didatangi saudagar-saudagar bangsa asing maka dengan sendirinya banyak menyerap ragam hias dari wastra yang dibawa oleh mereka. Karena itu didalam songket Palembang banyak ditenun ragam hias dengan nama yang menunjukkan asal nya seperti “Bungo Cino” dan “Bungo Pacik“.

Penampilannya yang gemerlap dengan benang emas, dan kainnya yang halus karena berbahan dasar sutra, menjadikan kain songket sejak dulunya merupakan kain “milik” para bangsawan, sebagai salah satu lambang status kekayaan mereka. Konon ketika itu, setiap kelompok bangsawan memiliki corak motif masing-masing, untuk membedakannya dari kelompok yang lain.

Lama kelamaan, kain songket pun menjadi pakaian yang wajib dikenakan pada saat upacara adat atau upacara resmi lainnya. Ketentuan adat itu terus bertahan hingga kini. Dalam upacara perkawinan, misalnya, mengenakan kain songket menjadi keharusan dalam tradisi sebagian masyarakat Melayu.

Industri songket biasanya dilakukan dalam skala-skala rumah tangga, misalnya seperti yang dilakukan oleh perajin Silungkang, di Padang. Pembuatan songket biasanya membutuhkan waktu berminggu-minggu. Bahkan ada yang sampai enam bulan. Tergantung tehnik yang dipakai.

II. 2.1 Bahan baku songket


Pada masa dahulu, penyiapan bahan baku tenun seperti benang dan pewarnaannya dikerjakan dengan bahan-bahan yang diambil dari alam. Untuk mendapatkan warna merah biasanya dengan menggunakan kayu sepang yang diambil inti kayunya kemudian dicampur dengan akar mengkudu dan setelah itu direbus bersamaan dengan benang yang ingin diwarnai. Warna biru didapat dari indigo, warna kuning dari kunyit, dan warna-warna sekunder seperti hijau, ungu, dan oranye biasanya dilakukan pencampuran cat dari warna merah, biru, dan kuning. Dan untuk membuat warna agar tidak mudah luntur, pada waktu pencelupan biasanya diberi tambahan tawas.

Namun sekarang bahan-bahan itu sudah tergantikan dengan bahan-bahan buatan pabrik. Untuk benang biasa, kebanyakan para perajin saat ini menggunakan katon atau sutra, bisa juga campuran keduanya, sebagai dasar utama songket. Tapi untuk hasil yang paling bagus biasanya para perajin menggunakan sutra, untuk memperolah kain yang lebih lentur biasanya. Sedangkan benang emas yang menjadi motifnya biasanya menggunakan katon yang dicelup dengan cairan emas, yang biasanya memiliki kadar delapan karat.

Ada beberapa tipe benang emas yang biasanya digunakan dalam pembuatan songket. Pertama, benang emas jantung. Yaitu benang emas yang umurnya sudah tua dan tidak diproduksi lagi. Untuk mendapatkan benang emas ini biasanya para perajin mengambilnya dari kain songket yang telah kuno, kemudian ditenun kembali. Keunggulan benang emas ini adalah sifatnya yang tidak mudah luntur dan daya tahannya memang sangat lama, bahkan bisa sampai satu abad lebih. Kedua, benang emas bangko yang berwarna emas keperak-perakan dan bermanik-manik seperti mutiara. Ketiga, adalah benang sartibi. Warnanya emas agak keputih-putihan dan lebih halus. Dan benang yang digunakan masyarakat melayu kebanyakan adalah benang mamilon. Warnanya keemasan dengan tekstur agak kasar.

II.2.2 Motif songket


Motif yang digunakan para perajin dari masa ke masa sepertinya tidak mengalami perubahan begitu banyak. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan songket itu sendiri. Karena rumitnya, untuk mengembangkan motifpun menjadi begit sulit. Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau hasil stilisasi dari flora dan fauna, yang masing-masing mempunyai arti perlambangan yang baik. Misalnya bunga cengkeh, bunga tanjung, bunga melati dan bunga mawar yang wangi yang melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan segala kebaikan.

Motif benang emas yang rapat dan mendominasi permukaan kain disebut songket tepus, sedangkan yang motif emasnya tersebar disebut songket tawur. Pada tepi kain biasa dibuat motif tumpal, segitiga atau segi tiga terputus, yang disebut motif pucuk rebung. Tunas rebung yang tumbuh menjadi batang bambu yang kuat dan lentur, tidak tumbang diterpa angin ini melambangkan harapan yang baik.

II.2.3 Alat tenun


Sampai saat ini, kebanyakan para perajin masih menggunakan alat tenun tradisional warisan leluhur mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Alat utama dinamakan panta adalah sebuah konstruksi kayu biasanya berukuran 2 x 1.5 meter tampat merentangkan banang yang akan ditenun. Benang dasar yang dinamakan lungsin atau lusi, juga disebut tagak digulung pada gulungan dan terpasang pada arang babi di bagian yang jauh dari panta.

Perajin yang mengerjakan tenun ini duduk pada semacam bangku di bagian pangkal dari panta ini. Di depannya ada dua buah tiang yang menyangga kayu paso tempat kain yang sudah ditenun akan digulung. Jadi lungsin terentang antara gulungan dengan paso dan di antaranya terdapat satu pasang karok dan satu buah suri tergantung pada tandayan. Di kiri dan kanan penenun digantungkan tempat penyimpan skoci benang pakan dan skoci benang mas. Skoci ini dinamakan turak dan terbuat dari bambu.

II.2.3 Cara pembuatan


Pertama sekali perajin akan menggerakkan karok dengan menginjak salah satu tijak-tijak untuk memisahkan benang sedemikian rupa sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali dan dimasukkan dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dari kiri ke kanan melewati seluruh bidang karok, atau dari kanan ke kiri, secara bergantian, dan akan membentuk semacam ayaman yang ketika dipukul ke arah penenun dengan suri menjadi rapat dan membentuk kain.

Kemudian untuk membuat motif, digunakanlah benang emas. Benang emas digulung dengan kasali dan dimasukkan dalam turak. Akan tetapi jalur masukknya tidak dibuat dengan menggerakkan karok malainkan ditentukan dahulu dengan mancukie bagian-bagian tertentu dari benang lungsini dengan suatu alat sederhana dari bambu yang disebut pancukie. Tahap inilah yang sangat penting dan memakan waktu yang sangat lama karena benang lungsin itu harus dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Karena kebanyakan motif tenun adalah simetris, maka pada waktu penenun selesai membuat satu jalur makau, akan diletakkan satu batang lidi untuk menandai jalur itu sehingga dapat dipakai kembali ketika polanya kembali sama.

Karena begitu rumitnya, untuk menyelesaikan satu lembar kain songket dibutuhkan minimal empat minggu. Meski ada yang dapat dikerjakan dalam dua minggu, biasanya hasilnyapun kualitasnya kurang. Dalam pembuatan songket biasanya para perajin menggunakan tiga tehnik penyulaman. Pertama, dengan satu benang. Jadi satu persatu benang diurai ke kanan dan ke kiri. Tenhik ini merupakan tehnik yang paling lama pengerjaannya. Dan hasilnyapun tentu paling bagus. Biasanya pembuatan songket dengan mengguanakan tehnik ini membuhkan waktu tiga sampai empat bulan. Kedua, dengan tehnik benang rangkap dua. Ketika menggunakan tehnik ini para perajin menggunakan dua helai benang. Karena benangnya rangkap motif yang dihasilkannyapun terlihat lebih jarang dibanding dengan yang pertama. Ketiga, tehnik dengan menggunakan benang rangkap empat. Tentu dengan tehnik inilah, satu kain songket dapat dihasilkan dalam waktu yang cukup singkat. Namun, hasilnya lebih kaku dan motifnya nampak lebih jarang.

Secara garis besar pembuatan kain songket ini dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, pencungkilan, artinya tahap ini merupakan tahap pembuatan motif kain songket itu sendiri. Dengan cara memilah-milah benang dari benang songket, lama prosesnya tergantung dari kerumitan motif kain songket itu. Motif songket digambarkan dengan tuntunan lidi yang dipasang ditenunan yang disebut sebagai “dayan”.

Kedua, proses penyambungan, artinya memisahkan benang untuk pakan songket, dengan cara diuraikan untuk persiapan penenunan. Para perajin biasanya menggulung dengan alat yang dinamakan “undaran benang”.

Ketiga adalah penenunan, artinya proses akhir dalam pembuatan kain songket. Sama seperti tahap pertama, lama pembuatan juga dipengaruhi oleh motif yang digunakan. Tahap ini merupakan tahap paling lama dalam pembuatan sebuah kain songket. Selain karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran, juga diperlukanlah kecermatan dalam menempatkan benang antar benang yang dimasukkan dalam tenunan yang menggunakan undaran benang.

II.2.5 Lampiran gambar

Contoh songket :

Alat tenun songket :

II.3 Perbandingan

Seni tradisi songket sekarang sudah menyebar, walaupun begitu setiap daerah pasti memiliki ciri khas sendiri, oleh karena itu saya akan membandingkan songket dari Palembang dan Minangkabau.

Ciri khas songket Palembang terletak pada kehalusan dan keanggunannya yang sangat menonjol serta motifnya tidak sama dengan motif kain songket daerah lain karena menampakan keanggunan dan keagungan budaya negeri dan masyarakat pembuatnya . Rangkaian benang yang tersusun dan teranyam lewat pola simetris membuat motif kain ini halus dan rumit. Biasanya warna pada songket palembang bernuansa merah-emas dan motifnya sangat indah. Motif hias songket Palembang biasanya berbentuk geometris atau berupa aplikasi flora dan fauna yang memiliki perlambangan yang baik. Misalnya saja motif bunga melati, bunga mawar, bunga cengkeh, dan bunga tanjung yang harum melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan segala kebaikan lain. Oleh karena itu sewet songket ini dibuat dengan bahan halus dan seni yang tinggi. Biasanya dipakai pada waktu tertentu pada saat perayaan perkawinan.

Ciri khas songket Minangkabau terbuat dari benang sutera dan berwarna emas. Pada songket dituliskan kata-kata adat.kemudian digunakan pada semua kegiatan adat istiadat. Motif dari songket Minangkabau biasanya adalah dari motif-motif dari songket tua, sehingga masih terlihat bahwa songket Minangkabau merupakan songket turun-temurun.



BAB III

KESIMPULAN

III. 1 Kesimpulan

Dari data yang saya temukan, Songket merupakan karya seni dari Sumatera. Awal dari penemuan songket bersamaan dengan majunya perdagangan laut saat kerajaan Sriwijaya, sehingga terjadi pertukaran bahan baku. Sehingga ditemukanlah bahan untuk membuat songket. Sehingga dapat disimpulkan awal mulanya songket ditemukan oleh masyarakat Palembang.

Motif dari songket itu diambil dari ragam hias yang masyarakat lihat lewat saudagar asing yang singgah ke Sriwijaya saat itu. Sehingga tak heran banyak songket yang menunjukkan asalnya.

Kemudian songket juga dijadikan alat untuk mengetahui status social seseorang. Melalui warna dan motif yang digunakan pada songket itu. Alat dan bahan baku untuk pembuatan songket adalah benang, pewarna, dan alat tenun. Proses pembuatan songket adalah dengan mencungkil, menyambung, dan menenun.

Setiap daerah memiliki ke-khas-an sendiri dan dapat dirasakan perbedaannya. Tergantung selera kita mengenai songket itu sendiri.

III. 2 Saran

Songket adalah karya seni tradisi Indonesia oleh karena itu kita harus melestarikannya. Kita juga harus tahu mengenai asal usul dari semua karya seni tradisi di Indonesia. Karena sekarang banyak masyarakat yang acuh pada karya seni tradisi sukunya sendiri. Kita juga harus bisa mengenalkan karya seni tradisi kita pada masyarakat luar, karena dengan kita menghargai karya seni tradisi kita sendiri orang luar pun akan menghargainya juga, sehingga Indonesia-pun tidak lagi dipandang sebelah mata.

Kemudian, bila ada kekurangan dari makalah yang saya buat, mohon kritik dan sarannya yang membangun. Terima kasih.

III. 3 Daftar pustaka

http://www.rumahpesonakain.org/kain-nusantara/

http://bintangtimur.wordpress.com/2008/02/05/kain-tenun-

Tidak ada komentar: